Sunday, July 19, 2020

Joker, Kita, dan Absennya Negara

Joker, Kita, dan Absennya Negara

Oleh : Masbahur Roziqi

Penulis adalah guru bimbingan dan konseling SMA Negeri 2 Kraksaan Kabupaten Probolinggo

Film Joker menghentak dunia. Simbol tokoh antagonis ini kembali menyapa masyarakat. Namun kali ini bukan sebagai utuh tokoh jahat saja. Melainkan menelisik akar munculnya kejahatan dalam dirinya. Kejahatan yang sebenarnya berasal dari perlakuan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat seperti kita yang hidup penuh interaksi. Walau pun tanpa kita sadari interaksi tersebut mulai terasa hampa.

Interaksi hampa dan menyakitkan. Itu lah yang saya tangkap usai melihat film Joker. Sebelum menjadi Joker, dia adalah seorang laki-laki sederhana bernama Arthur. Dia merawat ibunya seorang diri. Bekerja sebagai badut menghibur banyak orang untuk mendapatkan penghasilan. Dalam kesehariannya dia memegang teguh pesan ibunya untuk selalu tersenyum dan tertawa. Meskipun dalam hidup akan banyak tantangan dan ketidakadilan yang dia hadapi.

Benar saja, dalam film tersebut, si Arthur mengalami banyak ketidakadilan. Beberapa remaja dan pemuda elit bertampang parlente memukulinya. Hanya karena dia seorang badut dan layak untuk dilecehkan dan disakiti. Bahkan ketika naik bus usai mendapat pukulan dan menjalani konseling, Arthur masih saja mendapat perlakuan tidak nyaman dari seorang ibu. Dia melarang anaknya bercanda dengan Arthur. Padahal saat itu, si Arthur tengah menghibur anak tersebut dengan candaannya. Si anak senang, namun ibunya malah marah dan melarangnya. Kembali Arthur tertawa, walau saya merasakan dirinya menangis dalam hati mendapat begitu banyak kekerasan fisik dan mental hari itu.

Puncak keputusasaan Arthur atas keadilan terjadi saat tokoh idolanya, Murray Franklin, seorang komedian televisi, membuat dirinya sebagai banyolan. Murray menertawakan cita-cita dan mimpi Arthur menjadi seorang komedian profesional yang akan membahagiakan banyak orang dengan tingkah konyolnya. Sekali lagi hati Arthur teriris. Setelah ibunya membohongi dia, tokoh masyarakat kota Gotham Thomas Wayne memukul mukanya, kali ini sang tokoh idola pun melecehkan dia. Menghempaskan satu-satunya mimpi yang ingin dia bangun untuk menunjukkan potensi dirinya. Saat itu lah dia bertekad bahwa sebagian besar masyarakat sudah tidak adil terhadapnya. Dia ingin menertawakan penderitaan orang-orang. Dan dia ingin menjadi aktor pembuat penderitaan itu.

Sosok manusia jahat akhirnya muncul. Kali ini dia menafikkan hatinya. Dia ingin meluapkan penderitaannya menjadi sebuah komedi. Dan dia pun ingin menjadikan penderitaan orang lain sebagai komedi. “Kalian menjadikan penderitaanku komedi, dan aku pun juga ingin penderitaan kalian menjadi komedi bagiku” mungkin jika diterjemahkan menjadi kata-kata, itu lah yang ingin diungkapkan Joker pada setiap perbuatan jahatnya.

Kita bisa belajar banyak dari film ini. Joker dan kita adalah cermin kehidupan sebenarnya. Berkembangnya teknologi membuat segalanya menjadi mudah. Namun tuntutan hidup dan tantangan hidup semakin besar. Hal itu berdampak pada tekanan psikis yang berpotensi dialami banyak orang. Ada yang mampu mengelola kesehatan jiwanya dengan baik, namun tidak sedikit pula yang mulai limbung menghadapi tekanan. Terutama tekanan yang didapatkannya dari interaksi dengan lingkungan sosial. Baik keluarga maupun masyarakat.

Jika mencermati film Joker, tekanan lingkungan sosial lah yang membuat Arthur perlahan menjadi Joker. Dia yang semula hanya pekerja Badut biasa, mendapat banyak pelecehan dari orang-orang di sekitarnya.  Beberapa masyarakat yang melihat Joker mendapat penindasan hanya diam dan menganggap wajar. Dia yang seharusnya mendapat dukungan sosial berupa penguatan mental, malah mendapat pembiaran. Freak! Aneh! Hanya itu lah kesan yang dia dapat dari orang-orang di sekitarnya. Pembiaran itu turut mengentalkan antipati Joker kepada orang lain.

Satu hal lagi yang patut menjadi kritik adalah absennya negara, dalam hal ini, pemerintah daerah kota Gotham, terhadap orang seperti Joker. Dalam film tersebut, Joker tidak mendapat bantuan lagi  untuk obat-obatan dirinya yang mengidap skizofrenia. Dokter yang menanganinya mengatakan sesi konseling nya telah berakhir. Dan orang seperti Joker dan dokter itu adalah bagian yang tidak menjadi perhatian dari pemerintah setempat.

Pemerintah dapat belajar banyak dari film Joker ini. Bahwa kebijakan dan peraturan yang pemerintah buat harus sebesar-besarnya dilakukan untuk kemakmuran rakyat. Bukan untuk kepentingan elit semata. Diputusnya bantuan kesehatan Joker oleh pemda setempat menjadi bagian ketidakadilan otoritas kepada warganya. Si warga menjadi korban pembiaran. Dan akhirnya malah menjadi bumerang bagi negara. Yakni menambah jumlah angka pelaku kriminalitas. Yang sebenarnya bisa dicegah jika negara benar-benar merawat dan memberi dukungan sosial bagi si Joker.

Sekali lagi, Joker adalah korban ketidakadilan, wajah ketidakadilan, dan bentuk nyata ketidakadilan. Sudah saatnya kita dapat belajar bahwa mencintai sesama manusia dan memperlakukan mereka dengan penuh keadilan merupakan intisari dari kehidupan. Perlakukan lah orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan. Jika kita ingin selalu mendapat kebaikan dan keadilan dari orang lain, maka berbuat lah demikian pada orang lain. Jangan berstandar ganda, melecehkan orang lain namun tidak ingin dilecehkan orang lain. Karena itu sejak dini kita perlu selalu mengasah rasa empati kita, dan memperkuat sikap gotong royong dalam berinteraksi antar individu dan kelompok. Peduli terhadap gejala sosial yang ada di sekitar kita.

Joker pun sebenarnya tidak seluruh sikapnya total jahat. Ada momen ketika dia melepaskan seorang temannya yang mengalami kekurangan fisik saat dia usai mencelakakan orang lain. Padahal temannya itu merupakan saksi perbuatan kriminal yang dia lakukan. Dia mencium kening si teman dan memintanya pergi meninggalkannya. Itu artinya sebenarnya dalam lubuk hati paling dalam, dia juga tidak mau menindas orang yang lebih lemah dari dirinya. Ini lah bukti bahwa masih ada setitik cahaya dari diri Joker. Yang sayang sekali tidak mampu ditangkap baik oleh orang-orang terdekat, masyarakat, maupun negara.  Cahaya itu akhirnya redup dan tenggelam oleh ketidakadilan yang dia alami.

Kedua, kita berharap juga negara selalu hadir dan tidak absen kepada setiap warga negaranya. Terlebih kepada mereka yang memerlukan penguatan untuk memberdayakan dirinya. Jangan biarkan mereka berjuang sendirian seperti di hutan rimba. Rangkul mereka dan pastikan negara tidak abai terhadap mereka. Negara harus hadir untuk rakyatnya. Demi amanat konstitusi melindungi segenap tumpah darah bangsa.

Bagi bapak dan ibu guru, mari bersama kita semakin menguatkan tekad dan kerja kita untuk memajukan pendidikan negeri ini. Bersama peserta didik, kita berusaha untuk saling memahami dan menghormati dalam setiap kegiatan di sekolah. Termasuk memastikan bahwa kekerasan tidak menjadi solusi dalam mendidik anak-anak murid kita. Karena kekerasan yang Joker alami turut menjadi pengantar dan penguat baginya untuk melakukan kekerasan yang sama pada orang lain. Mari menciptakan pendidikan humanis dan mencegah munculnya Joker-Joker baru dalam dunia pendidikan khususnya. Amin.


No comments:

Post a Comment

Come on Guys, Stop Invasion!

  Affirm Position, Condemn Invasion! Masbahur Roziqi The author is an Indonesia citizen who oppose Russian aggresion to Ukraine      The mom...