Joker, Kita, dan Absennya Negara
Oleh : Masbahur Roziqi
Penulis adalah guru bimbingan dan konseling SMA
Negeri 2 Kraksaan Kabupaten Probolinggo
Film
Joker menghentak dunia. Simbol tokoh antagonis ini kembali menyapa masyarakat.
Namun kali ini bukan sebagai utuh tokoh jahat saja. Melainkan menelisik akar
munculnya kejahatan dalam dirinya. Kejahatan yang sebenarnya berasal dari
perlakuan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat seperti kita yang hidup penuh
interaksi. Walau pun tanpa kita sadari interaksi tersebut mulai terasa hampa.
Interaksi
hampa dan menyakitkan. Itu lah yang saya tangkap usai melihat film Joker. Sebelum
menjadi Joker, dia adalah seorang laki-laki sederhana bernama Arthur. Dia
merawat ibunya seorang diri. Bekerja sebagai badut menghibur banyak orang untuk
mendapatkan penghasilan. Dalam kesehariannya dia memegang teguh pesan ibunya
untuk selalu tersenyum dan tertawa. Meskipun dalam hidup akan banyak tantangan
dan ketidakadilan yang dia hadapi.
Benar
saja, dalam film tersebut, si Arthur mengalami banyak ketidakadilan. Beberapa
remaja dan pemuda elit bertampang parlente memukulinya. Hanya karena dia
seorang badut dan layak untuk dilecehkan dan disakiti. Bahkan ketika naik bus
usai mendapat pukulan dan menjalani konseling, Arthur masih saja mendapat
perlakuan tidak nyaman dari seorang ibu. Dia melarang anaknya bercanda dengan
Arthur. Padahal saat itu, si Arthur tengah menghibur anak tersebut dengan
candaannya. Si anak senang, namun ibunya malah marah dan melarangnya. Kembali
Arthur tertawa, walau saya merasakan dirinya menangis dalam hati mendapat begitu
banyak kekerasan fisik dan mental hari itu.
Puncak
keputusasaan Arthur atas keadilan terjadi saat tokoh idolanya, Murray Franklin,
seorang komedian televisi, membuat dirinya sebagai banyolan. Murray
menertawakan cita-cita dan mimpi Arthur menjadi seorang komedian profesional
yang akan membahagiakan banyak orang dengan tingkah konyolnya. Sekali lagi hati
Arthur teriris. Setelah ibunya membohongi dia, tokoh masyarakat kota Gotham
Thomas Wayne memukul mukanya, kali ini sang tokoh idola pun melecehkan dia. Menghempaskan
satu-satunya mimpi yang ingin dia bangun untuk menunjukkan potensi dirinya. Saat
itu lah dia bertekad bahwa sebagian besar masyarakat sudah tidak adil
terhadapnya. Dia ingin menertawakan penderitaan orang-orang. Dan dia ingin
menjadi aktor pembuat penderitaan itu.
Sosok
manusia jahat akhirnya muncul. Kali ini dia menafikkan hatinya. Dia ingin
meluapkan penderitaannya menjadi sebuah komedi. Dan dia pun ingin menjadikan
penderitaan orang lain sebagai komedi. “Kalian menjadikan penderitaanku komedi,
dan aku pun juga ingin penderitaan kalian menjadi komedi bagiku” mungkin jika
diterjemahkan menjadi kata-kata, itu lah yang ingin diungkapkan Joker pada
setiap perbuatan jahatnya.
Kita
bisa belajar banyak dari film ini. Joker dan kita adalah cermin kehidupan
sebenarnya. Berkembangnya teknologi membuat segalanya menjadi mudah. Namun
tuntutan hidup dan tantangan hidup semakin besar. Hal itu berdampak pada
tekanan psikis yang berpotensi dialami banyak orang. Ada yang mampu mengelola
kesehatan jiwanya dengan baik, namun tidak sedikit pula yang mulai limbung
menghadapi tekanan. Terutama tekanan yang didapatkannya dari interaksi dengan
lingkungan sosial. Baik keluarga maupun masyarakat.
Jika
mencermati film Joker, tekanan lingkungan sosial lah yang membuat Arthur
perlahan menjadi Joker. Dia yang semula hanya pekerja Badut biasa, mendapat
banyak pelecehan dari orang-orang di sekitarnya. Beberapa masyarakat yang melihat Joker
mendapat penindasan hanya diam dan menganggap wajar. Dia yang seharusnya
mendapat dukungan sosial berupa penguatan mental, malah mendapat pembiaran. Freak! Aneh! Hanya itu lah kesan yang
dia dapat dari orang-orang di sekitarnya. Pembiaran itu turut mengentalkan
antipati Joker kepada orang lain.
Satu
hal lagi yang patut menjadi kritik adalah absennya negara, dalam hal ini,
pemerintah daerah kota Gotham, terhadap orang seperti Joker. Dalam film
tersebut, Joker tidak mendapat bantuan lagi
untuk obat-obatan dirinya yang mengidap skizofrenia. Dokter yang menanganinya
mengatakan sesi konseling nya telah berakhir. Dan orang seperti Joker dan
dokter itu adalah bagian yang tidak menjadi perhatian dari pemerintah setempat.
Pemerintah
dapat belajar banyak dari film Joker ini. Bahwa kebijakan dan peraturan yang
pemerintah buat harus sebesar-besarnya dilakukan untuk kemakmuran rakyat. Bukan
untuk kepentingan elit semata. Diputusnya bantuan kesehatan Joker oleh pemda
setempat menjadi bagian ketidakadilan otoritas kepada warganya. Si warga
menjadi korban pembiaran. Dan akhirnya malah menjadi bumerang bagi negara.
Yakni menambah jumlah angka pelaku kriminalitas. Yang sebenarnya bisa dicegah
jika negara benar-benar merawat dan memberi dukungan sosial bagi si Joker.
Sekali
lagi, Joker adalah korban ketidakadilan, wajah ketidakadilan, dan bentuk nyata
ketidakadilan. Sudah saatnya kita dapat belajar bahwa mencintai sesama manusia
dan memperlakukan mereka dengan penuh keadilan merupakan intisari dari
kehidupan. Perlakukan lah orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan. Jika
kita ingin selalu mendapat kebaikan dan keadilan dari orang lain, maka berbuat
lah demikian pada orang lain. Jangan berstandar ganda, melecehkan orang lain
namun tidak ingin dilecehkan orang lain. Karena itu sejak dini kita perlu
selalu mengasah rasa empati kita, dan memperkuat sikap gotong royong dalam
berinteraksi antar individu dan kelompok. Peduli terhadap gejala sosial yang
ada di sekitar kita.
Joker
pun sebenarnya tidak seluruh sikapnya total jahat. Ada momen ketika dia
melepaskan seorang temannya yang mengalami kekurangan fisik saat dia usai
mencelakakan orang lain. Padahal temannya itu merupakan saksi perbuatan
kriminal yang dia lakukan. Dia mencium kening si teman dan memintanya pergi
meninggalkannya. Itu artinya sebenarnya dalam lubuk hati paling dalam, dia juga
tidak mau menindas orang yang lebih lemah dari dirinya. Ini lah bukti bahwa
masih ada setitik cahaya dari diri Joker. Yang sayang sekali tidak mampu
ditangkap baik oleh orang-orang terdekat, masyarakat, maupun negara. Cahaya itu akhirnya redup dan tenggelam oleh
ketidakadilan yang dia alami.
Kedua,
kita berharap juga negara selalu hadir dan tidak absen kepada setiap warga
negaranya. Terlebih kepada mereka yang memerlukan penguatan untuk memberdayakan
dirinya. Jangan biarkan mereka berjuang sendirian seperti di hutan rimba.
Rangkul mereka dan pastikan negara tidak abai terhadap mereka. Negara harus
hadir untuk rakyatnya. Demi amanat konstitusi melindungi segenap tumpah darah
bangsa.
Bagi
bapak dan ibu guru, mari bersama kita semakin menguatkan tekad dan kerja kita
untuk memajukan pendidikan negeri ini. Bersama peserta didik, kita berusaha
untuk saling memahami dan menghormati dalam setiap kegiatan di sekolah.
Termasuk memastikan bahwa kekerasan tidak menjadi solusi dalam mendidik
anak-anak murid kita. Karena kekerasan yang Joker alami turut menjadi pengantar
dan penguat baginya untuk melakukan kekerasan yang sama pada orang lain. Mari
menciptakan pendidikan humanis dan mencegah munculnya Joker-Joker baru dalam
dunia pendidikan khususnya. Amin.
No comments:
Post a Comment