Wednesday, February 23, 2022

Koneksi Antar Materi 2.1

 Berdiferensiasi, Siapa Takut!!

Oleh : Masbahur Roziqi 

Calon Guru Penggerak SMAN 1 Kraksaan Kabupaten Probolinggo

    Pembelajaran berdiferensiasi. Hmm, baru lagi nih. Lagi-lagi PGP sukses membuat saya penasaran. Itu lah awal perasaan yang muncul pada diri saya ketika membaca awal mengenai pembelajaran berdiferensiasi. Saya pun berulang kali membaca materi mengenai pembelajaran berdiferensiasi ini. Termasuk melihat beberapa video yang telah LMS tayangkan. Ternyata menarik. Karena menjabarkan bahwa perbedaan individu itu niscaya. Termasuk perbedaan para murid. Penyamarataan berarti mengingkari fitrah perbedaan murid itu. 


    Lantas pembelajaran berdiferensiasi ini hadir. Menjadi sebuah upaya menjembatani perbedaan murid itu ke dalam pembelajaran. Tidak lagi hanya pada satu-satunya opsi yaitu pembelajaran sama untuk semua. Melainkan ada diferensiasi atas fenomena adanya perbedaan karakteristik murid. 

    Kesimpulan saya mengenai pembelajaran berdiferensiasi ini sederhana sih. Ini pembelajaran yang menawarkan adanya akomodasi cara menampung perbedaan yang ada pada murid. Perbedaan pada apa saja kah? Dapat dilihat pada tiga hal. Kesiapan belajar, minat, dan profil belajar murid. Ini lah konsep inti dari pembelajaran berdiferensiasi. Termasuk juga jenisnya, ada jenis diferensiasi konten, proses, dan produk. Ini sebagai bagian dari ikhtiar menjembatani perbedaan tiap murid. 

    Tentu saja pembelajaran berdiferensiasi ini membantu murid untuk bisa terfasilitasi perbedaannya. Seperti misal ketika guru telah mengetahui mengenai gaya belajar tiap murid, maka pembelajaran dapat beliau rancang menyesuaikan dengan gaya belajar itu. Bisa pada diferensiasi konten, proses, maupun produk. Sehingga murid belajar sesuai dengan karakteristik gaya belajar dominannya. Tentu akan berdampak. Yakni murid belajar dengan enjoy karena sesuai dengan gaya belajar yang dia nyaman melakukannya. Mulai dari konten yang guru sajikan, dia menikmati, kemudian saat proses pun dia mendapat kesempatan untuk belajar sesuai gayanya, dan terakhir, dia mendapat kesempatan memproduksi karyanya sesuai gaya belajarnya. Tentu sangat indah. 

    Ada pun kaitan pembelajaran berdiferensiasi ini tentu sangat berkaitan. Dengan budaya positif sangat sinkron. Dalam pembelajaran berdiferensiasi ini, guru memiliki posisi kontrol manajer. Guru mampu untuk memberdayakan murid sesuai dengan karakteristiknya mengikuti pembelajaran secara maksimal. Selain itu tentu saja pembelajaran berdiferensiasi menjadi bagian upaya menumbuhkan kepemimpinan murid. Murid berpacu menjadi inisiator atas kegiatan belajarnya sendiri yang telah sesuai dengan gaya belajarnya. Dengan lebih enjoy, dia mendapatkan upaya maksimal itu mengantarkannya memperoleh pengalaman belajar menyenangkan. 

Wednesday, February 9, 2022

Berbagi Aksi Nyata Modul 1-Keyakinan Kelas Mantap Jiwa!

Oleh : Masbahur Roziqi

Calon Guru Penggerak SMAN 1 Kraksaan Kabupaten Probolinggo Angkatan IV  

Akhirnya tiba juga saatnya berbagi. Kali ini saya akan berbagi aksi nyata saya pada modul satu. Kegiatan aksi nyata awal saya yang sangat berkesan. Mengapa berkesan? Karena ini hal baru yang saya alami. Dan tentu saja hal baru ini saya laksanakan dengan antusias. Yuk saya akan bercerita. 

    Kegiatan aksi nyata ini merupakan bagian memperkenalkan dan mengaplikasikan konsep budaya positif di sekolah. Konsep itu antara lain perubahan paradigma, mengenal disiplin positif dan teori motivasi perilaku, mengenal keyakinan kelas, mengenal pemenuhan kebutuhan dasar individu, mengenal posisi kontrol guru,  dan terakhir yakni mengenalkan segitiga restitusi. Keenam konsep budaya positif itu menjadi konsen saya dalam melaksanakan kegiatan aksi nyata di sekolah dan saat mendiseminasikannya pada bapak ibu guru di SMAN 1 Kraksaan. 

Budaya positif ini sungguh ideal jika bisa konsisten kita terapkan di sekolah. Dengan mengenal posisi kontrol dan pemenuhan kebutuhan dasar individu misalnya. Guru bisa lebih mengerti posisi murid. Termasuk dapat pula menentukan posisi kontrol guru. Mau jadi penghukum apa mau jadi manager. Atau bahkan lebih memilih menjadi teman atau pemantau? Ini keuntungan memahami dan menerapkan budaya positif. 

Termasuk juga ketika guru mampu mengetahui motivasi perilaku. Setiap orang dan tentu murid, tentu digerakkan oleh motivasi. Entah itu motivasi intrinsik atau ekstrinsik. Dengan mengenal, mengetahui, dan mampu menumbuhkan motivasi intrinsik, guru membantu murid untuk lebih berdaya. Menggerakkan segenap daya dan upayanya untuk mencapai kesejahteraan dirinya melalui motivasi yang terbangun dalam dirinya. 

    Dan yang tidak kalah seru tentunya adalah segitiga restitusi. Pada kegiatan ini ada tiga hal yang bisa guru lakukan. Validasi tindakan salah hingga menanyakan keyakinan. Tentu pada tindakan-tindakan ini, tujuan utamanya bagaimana membuat murid berdaya. Mampu mengetahui nilai kebajikan yang telah mereka sepakati bersama dalam sebuah keyakinan kelas untuk menyelesaikan perilaku tak produktif mereka. 

    Konsep budaya positif ini sungguh sangat menginspirasi saya dalam merumuskan aksi nyata. Saya susun lah aksi nyata berupa penginternalisasian budaya positif itu ke dalam lingkungan sekolah. Yakni salah satunya membentuk keyakinan kelas. Kemudian saya juga melatih segitiga restitusi untuk menghadapi anak yang melakukan perilaku malasuai. 

    Pada pembentukan keyakinan kelas saya mengenalkannya pada sebagian kelas bimbingan yang saya ampu. Sebanyak tiga kelas. Tiga kelas ini saya ajak untuk bersama merumuskan keyakinan kelas. Teknisnya yakni saya mengenalkan dulu apa itu keyakinan kelas, dan bagaimana mekanisme perumusannya. Saya mengajak anak-anak untuk membagi dalam kelompok-kelompok kecil, atau saya menyebutnya keluarga kecil. 

    Jadi tiap keluarga itu lah yang mengusulkan masing-masing usulan keyakinan kelasnya. Mereka mengusulkan keyakinan kelas pada tiap keluarganya, kemudian keyakinan kelas yang mereka usulkan itu akan dibahas bersama teman-teman satu kelas. Untuk kemudian mendapatkan saran dan kritik dari teman-temannya. 

    Pada tahap ini, murid-murid berlatih mandiri untuk memberikan saran, dan kritik kepada temannya. Sedangkan bagi keluarga penyaji maka berlatih untuk mendengarkan dan menanggapi atas saran dan kritik yang teman mereka lontarkan. Keterampilan mendengarkan dan menyampaikan pendapat ini juga menjadi bagian dari keterlibatan murid dan mendorong kepemimpinan murid. 

    Saat ini tahapan perumusan keyakinan kelas masih terus berlangsung dan terus melatih murid untuk bersama membuat keyakinan kelas bersama. Dari keyakinan kelas itu lah, budaya positif akan dimulai dan harapannya terbiasa dilakukan anak-anak saat ini dan seterusnya. 

    Dalam perumusan keyakinan itu pun melatih anak-anak menyampaikan kritik dan sarannya. Sehingga dapat menyampaikan berbagai masukan kepada temannya untuk pembuatan keyakinan kelas. Kemandirian untuk menyampaikan kritik dan saran itu pula yang menjadi bagian dari menumbuhkan kepemimpinan murid. 

    Akhirnya, memang kegiatan pembiasaan budaya positif ini sangat seru. Dan tentu tantangannya juga ada. Namun saya selalu bersemangat melaksanakannya. Demi pendidikan humanis yang terus tumbuh di sekolah. 










Come on Guys, Stop Invasion!

  Affirm Position, Condemn Invasion! Masbahur Roziqi The author is an Indonesia citizen who oppose Russian aggresion to Ukraine      The mom...