Bungkam
Oleh : Masbahur Roziqi
Penulis adalah guru bimbingan dan
konseling SMA Negeri 2 Kraksaan
Tan Mei Lin, itu nama asliku. Kalau ditanya nama Indonesia,
aku menjawab nama yang sama. Namaku Tan Mei Lin. Titik. Itu saja. Tidak ada
nama lain. Mengapa harus mengganti. Memang urgensinya apa? Aku terus bertanya
dan mempertanyakan dalam hati. Tidak ada yang salah kok.
China. Itu kata yang sudah terlalu sering aku dengar.
Berpapasan dengan orang, dalam satu pertemuan dengan orang, semua sudah sering
aku dengar. Mereka jarang memanggil nama asliku. China. Kata singkat itu saja
yang selalu aku terima. Banyak yang menyarankan aku ganti nama saja. Biar lebih
Indonesia. Aku selalu protes jika diminta membahas ini.
“Ganti
Cindy Larasati saja bagus kok. Lebih Indonesia,” ujar Dini, teman kuliahku di
fakultas hukum Universitas Cemara.
“
Ngapain. Ini kan nama bagus. Nggak ah.”
“
Lah kamu sering risih dipanggil China sih. Yasudah itu kan resiko, apalagi
secara fisik kamu memang chinese banget.”
“
Memang merekanya yang suka manggil gitu itu norak.”
Selalu berakhir dengan kejengkelan. Ya, aku jengkel. Jika
ada yang mengajak membahas pengingkaran atas identitasku. Memang mengapa kalau
aku China. Nggak ada masalah kan? Perkara orang manggil sinyo kek, china kek,
Tionghoa kek. Bodo Amat!! Yang penting aku bangga dengan diriku.
Kalau
aku sudah berprinsip seperti itu, teman-temanku pun hanya bisa manyun. Lucu
kalau melihat ekspresi mereka begitu. Hehehe.
***
Masih banyaknya yang nyinyir dengan orang Indonesia etnis
Tionghoa, membuatku penasaran. Apalagi jika dikaitkan dengan gadis etnis
Tionghoa. Selalu saja ada yang menggelitik nuraniku. Mengapa mereka begitu
melecehkan gadis Tionghoa? Buktinya aku ini. Sejak SMA, ketika aku lewat
kerumunan lelaki yang “nonTionghoa” selalu saja ada yang nyeletuk,
“
Eh cik, putih banget kulitnya. Temenin abang donk.”
“
Hei china cakep, jalan bareng yuk.”
Awalnya sih aku menganggapnya hanya godaan kampungan. Namun
semakin lama, godaan itu tetap dan terus berulang. Tidak hanya di satu
kerumunan. Kerumunan lain pun pernah melakukan hal sama padaku. Mengapa
ketionghoaan selalu jadi bahan bullying? Ini yang membuatku penasaran. Harus
ada jawaban atas penasaran ini.
***
Aku memutuskan harus mengakhiri rasa penasaranku. Sebagai
generasi milenial, kids zaman now, aku tidak boleh hanya menerima keadaan ini
begitu saja. Harus ada penjelasan, mengapa masih saja ada pelecehan pada
perempuan Tionghoa dengan kata-kata yang melibatkan nama etnis. Aku awali
pencarianku dengan menghubungi beberapa kenalan. Salah satunya dengan Xiao
Feng, teman masa kecilku.
“
Yo, tolongin aku donk. Aku pengen banget tahu tentang mengapa pelecehan atas
nama etnis masih saja berlangsung hingga sekarang. Kamu tahu nggak enaknya
nanya ke siapa?”
“
Kalau saranku sih mending nanya ke yang tua-tua, kan lebih berpengalaman tuh
mereka.”
“
Siapa menurutmu?”
“
Gimana kalau ke panti jompo aja. Pasti ada yang menghabiskan masa tua di sana.
Nanti sisanya tanya kakek nenek atau papa mamaku deh.”
Saran Xiao Feng aku turuti. Sesampai di panti jompo, ada 30
kakek nenek yang sepertinya hidup dengan damai di sana. Saling bercengkrama dan
bercerita. Teduh sekali jika melihat mereka saling tertawa seusai bergurau. Aku
coba mendekati salah seorang di antara mereka.
“
Nek permisi, boleh ganggu sebentar nggak?”
Si
nenek tampak menatap aku dan Xiao Feng dengan seksama. Mulai ujung kaki hingga
kepala rasanya tak luput dari jangkauan matanya. Perlahan dia mulai membuka
suara.
“
Mau tanya apa nak memangnya sampai harus ke sini? Ini tempatnya para orang tua
loh. Saya rasa kalian pasti ada maksud tertentu datang ke sini.”
“Saya
dan teman saya ke sini pengeeen banget tanya sesuatu nek. Saya harap nenek mau
sih sharing pengalaman dengan kami.” ujarku merayu si nenek.
Nenek
itu pun manggut-manggut. Tidak begitu tua menurutku. Cuma tubuhnya sepertinya
sudah renta kali. Sesekali dia menghela napas.
“Silahkan
kalau begitu. Mau tanya apa memangnya nak.”
“Gini
nek. Kan kita sama-sama etnis Tionghoa nih. Mengapa ya nek, kok mesti kalau
tiap lewat dekat kerumunan lelaki yang notabene “nonTionghoa” selalu saja
dilecehkan. Disiuli dan sebagainya. Menurut nenek itu mengapa”
Sambil menghela napas, nenek itu memajamkan mata. Terasa
seperti berpikir keras. Beberapa kali dia juga coba menggelengkan kepalanya. Sesekali
dia menatap teman di sebelahnya. Seperti meminta persetujuan.
“Hmmm.
Berat sebenarnya. Menceritakan hal yang sangat ingin aku lupakan. Tapi agar
kalian generasi muda paham dan tidak salah info, aku mau cerita pengalaman
saja. Nanti kamu simpulkan sendiri.”
Ada intonasi berat dalam suaranya. Seperti menahan sesuatu.
Aku makin penasaran. Apa gerangan yang akan diceritakan si nenek. Bahkan aku
sudah siap dengan hape yang kuseting untuk merekam. Xiao Feng bagaimana?
Sepertinya sih dia di sampingku. Tapi aku sudah terlalu fokus pada si nenek.
“Menjadi
Tionghoa itu bukan pilihan, itu takdir. Dan tidak ada yang perlu disesali dari
takdir menjadi Tionghoa. Walau memang dalam perjalanannya, banyak penderitaan
yang sempat aku alami.” ujar nenek itu sambil melihat pada teman di sebelahnya.
Si
nenek melanjutkan ceritanya. Jantungku berdebar. Ini saat yang kutungu.
Penjelasan mengenai segala pelecehan yang kuterima. Semoga mencerahkan.
“Jawaban
atas pertanyaan kamu itu sungguh kompleks nak. Tahun 1998, nenek mengalami apa
yang dinamakan kerusuhan rasial. Sebuah peristiwa yang tidak akan pernah nenek
lupakan walau nenek ingin sekali menghapusnya dari memori ingatan kepala ini.”
“Memori
apa nek, hingga nenek mau melupakannya? Seburuk itu kah?”
“Bukan
buruk lagi nak, tapi biadab!!” nada suaranya mendadak meninggi.
“Bisa
nenek ceritakan?” Jantungku berdegup kencang.
“
Saat itu usia nenek sekitar 40 tahun. Saat kerusuhan berlangsung, sekitar
pertengahan bulan Mei 98, nenek benar-benar seperti melihat neraka. Ratusan
orang mengamuk. Menjarah dari toko-toko. Semuanya diangkut. Kaca toko, mobil
semua yang ditemui di jalan dirusak. Suasana seperti mau perang.”
Nenek
itu berjalan di antara kerusuhan. Tiba-tiba sekumpulan pemuda berambut cepak
dan gondrong melihat ke arah si nenek. Sambil berteriak, dia menuding nenek.
“Woooy
ada amoy di sini. Ayo selesein aja nambah satu lagi. Bawa dia juga.”
Teriakan mereka membuat si nenek ketakutan. Dia pun lari
sekencang-kencangnya ke arah yang berlawanan dari para pemuda itu. Tidak berani
sekali pun menoleh ke belakang. Teriakan demi teriakan tak dia pedulikan.
“Berhenti
woy China bangsat!! Kalau kena mampus loe nanti. Tak ada ampun.”
Lari dan terus berlari. Itu saja pikiran yang ada dalam
benak si nenek. Saat berlari itu dia juga mendengar jerit pilu beberapa
perempuan. Sempat sekilas terlihat olehnya beberapa gadis yang diseret
sekelompok pemuda. Secara fisik sama dengan dia. Bermata sipit, berkulit kuning
langsat, dan memiliki paras oriental. Sambil tertawa-tawa, mereka menyeret para
gadis malang itu.
“Beruntung
saat aku lari, masih ada yang menyelamatkan aku. Seorang bapak dan ibu yang aku
lupa namanya, menyuruh ku masuk ke rumahnya. Rupanya mereka kasihan melihatku
berlari kesetanan. Sesampai di dalam rumah, mereka menyuruhku diam dan
bersembunyi di lemari kamar.”
Sekelompok pemuda itu masih menyisir area rumah sekitar
tempat persembunyianku. Bahkan bapak dan ibu yang menyembunyikan aku turut
diinterogasi. Kudengar mereka bahkan mengancam bapak dan ibu itu.
“Beneran
tidak ada amoy lewat sini?? Awas kalau bohong kalian berdua juga bisa saya
bunuh.” kata si lelaki sambil meludah.
“Aku
menangis. Di lemari yang sempit itu pikiranku kacau dan tak terasa aku
menangis. Tidak kubayangkan ini terjadi padaku. Hampir saja aku jadi korban
kebuasan manusia-manusia biadab itu. Sial sekali jadi China, pikirku.”
Si nenek berusaha nampak tegar. Dia menyeka air matanya.
Kisah ini berusaha dia pendam. Tidak pernah sekali pun diungkit lagi. Dia
merasa tidak ada gunanya mengungkit dan menuntut. Toh pemerintah tidak akan
mendengarkan.
“
Sampai saat ini masih banyak yang memilih bungkam dan tidak cerita apa-apa
tentang kekerasan seksual massal pada etnis Tionghoa saat itu. Bungkam lebih
baik daripada kami bersuara tapi tidak ada tindak lanjutnya.”
Aku terbius. Hanya bisa duduk termangu mendengarkan cerita
si nenek. Tidak kubayangkan betapa mencekamnya saat itu. Belum lagi trauma yang
dialami si nenek. Pasti sangat membekas. Teriakan, hinaan, semuanya pasti
terekam dalam memorinya. Baru kali ini aku mendengar langsung mengenai
kekerasan seksual yang dialami saat kerusuhan 98 lalu.
Kupegang
tangan nenek itu. Aku peluk dia. Tiba-tiba dia menangis sambil memelukku erat.
Sudah lama sekali dirinya ingin melampiaskan traumanya. Aku menjadi tempatnya
menangis.
“Semoga
tidak akan terulang lagi ya nak. Kakak nenek juga termasuk korban ini semua.
Korban ketidaktahuan orang tentang kebhinekaan negeri ini”. Ternyata kakak si
nenek termasuk korban meninggal akibat pengeroyokan saat kerusuhan Mei 98 itu.
Dia sedang dalam perjalanan mencari si nenek. “Hingga sekarang, nenek tidak
pernah tahu siapa yang membunuh kakak nenek.”
Rasanya sudah cukup. Aku merasa tidak perlu terlalu banyak
membebani si nenek. Dia sudah menyampaikan luka hatinya. Luka yang masih
membekas. Luka yang masih basah oleh goresan trauma. Aku pun pamit meninggalkan
panti jompo.
Sepanjang perjalanan, aku terus memutar memoriku kembali.
Saat di mana aku sering mengalami pelecehan akibat statusku sebagai keturunan
Tionghoa. Aku pun jadi teringat sebuah tulisan yang ditulis oleh idolaku, mbak
Andi Yentriyani dari Komnas Perempuan :
Hari ini sudah kuputuskan, aku tidak
mau hidup sebagai orang yang tunduk dan selalu ketakutan, hanya karena bermata
sipit dan berkulit kuning, hanya karena menjadi perempuan. Setiap orang
seharusnya dapat hidup sebagai orang yang punya hak dan sama dengan yang
lainnya, sebagai manusia, sebagai warga negara sah negeri ini
Sepenggal
paragraf yang ditulis mbak Yentri mengingatkanku. Aku bagian dari etnis ini dan
bangsa ini. Dan aku menolak untuk diam.
No comments:
Post a Comment