Memaknai
Vonis Pembunuh Guru Budi
Oleh
: Masbahur Roziqi
Penulis
adalah guru bimbingan dan konseling SMK Negeri 1 Probolinggo sekaligus anggota
Persatuan Guru Republik Indonesia Kota Probolinggo
Vonis
yang dinanti telah tiba. Pembunuh guru Achmad Budi Cahyanto (ABC), guru SMAN 1
Torjun, Sampang Madura, HL, 17 tahun,
telah dijatuhi vonis penjara selama enam tahun. Vonis perkara tindak pidana
anak bernomor 2/Pid.Sus-Anak/2018/PN Spg itu diucapkan majelis hakim anak Pengadilan Negeri Sampang
dengan suara bulat tanpa perbedaan pendapat pada Selasa (6/3/2018) lalu. Hakim
juga memerintahkan HL dipindahkan ke LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) kelas
1 Blitar untuk menjalani masa pidananya.
Baik penuntut umum maupun kuasa hukum terdakwa menyatakan pikir-pikir atas
vonis yang dijatuhkan hakim.
Dalam
vonis tersebut, hakim juga meyakini terdakwa melanggar pasal 338 KUHP yakni
menghilangkan nyawa dengan sengaja. Artinya pelaku dengan kesadaran penuh
melakukan pemukulan yang berujung pada kematian korban.
Penulis
berinisiatif mengambil sampel satu kelas untuk mengetahui pendapat para murid
terkait vonis pembunuh guru Budi pada Kamis (8/3/2018). Hasilnya, dari total 30
anak, 20 anak merasa vonis hakim terlalu ringan, 4 anak merasa vonis hakim
sudah tepat, dan 6 anak menyatakan tidak berpendapat. Metode dilakukan dengan
meminta murid menuliskan pendapatnya mengenai vonis tersebut.
N,
salah seorang murid yang tidak setuju dengan vonis hakim mengatakan walau berstatus
seorang pelajar dan kategori anak-anak, HL telah bertindak melampaui batas.
Tindakannya sangat keji. Sebagai seorang murid, HL justru membunuh seseorang
yang telah memberinya ilmu, dan kedua, dia telah membunuh seorang calon ayah.
HL juga telah membuat seorang anak menjadi yatim.
Para
murid tersebut bahkan mengusulkan pelaku dihukum setimpal. Yakni hukuman
maksimal seumur hidup atau hukuman mati. Alasannya, pelaku telah menghilangkan
nyawa seorang pendidik. Apalagi saat jam pembelajaran. Waktu dimana seorang
guru mencurahkan segala usahanya untuk mencerdaskan murid. Kepada guru saja si
pelaku mampu membunuh apalagi terhadap orang lain.
Berbagai
pendapat tersebut bisa dimaklumi. Hal tersebut merupakan ekspresi kegeraman
para murid kepada pembunuh guru. Hingga saat ini, sebagian besar murid
Indonesia menganggap guru adalah orang tua mereka di sekolah. Bersenda gurau,
curhat, hingga berdiskusi bersama mereka lakukan bersama guru di sekolah selain
dengan teman-temannya. Bahkan tidak jarang ada saja murid yang bersikap manja
kepada gurunya. Kedekatan emosional ini lah yang akan menyulut kegeraman ketika
para murid merasa guru disakiti.
Berkaca
dari vonis dan reaksi para murid tersebut, sekolah dan orang tua perlu memaknai
dengan beberapa tindakan konkrit. Pertama, sekolah perlu terus membangun iklim
kolaborasi diantara murid dan guru. Artinya dalam setiap pembelajaran maupun
kegiatan keseharian sekolah, para guru dan murid hendaknya saling berdialog
dalam mengatasi berbagai persoalan atau hambatan. Dialog dilakukan dengan
suasana kondusif. Dengan bahasa yang santun sehingga suasana menyejukkan.
Hindari menyatakan ketidaksetujuan dengan kata-kata dan bahasa tubuh yang
merendahkan lawan bicara. Jadi, tidak ada pihak yang tersulut emosi negatifnya
dengan kata atau bahasa tubuh tersebut. Baik guru maupun murid bekerjasama
untuk merealisasikan hal tersebut.
Kedua,
orang tua perlu menciptakan suasana keterbukaan bersama anak. Seperti
menerapkan waktu satu jam untuk keluarga berkumpul. Tidak diperbolehkan anggota
keluarga untuk bermain gadget saat family time (waktu keluarga). Semua gadget
dimatikan atau disetel hening dan diletakkan di kamar masing-masing. Saat waktu
itu lah setiap anggota keluarga bisa berbagi mengenai pengalaman atau apa yang
telah dilakukan dan dirasakan selama satu hari itu. Setiap anggota keluarga
diberi hak untuk memberi saran atau memberi penguatan atas curhat yang dikemukakan.
Kegiatan ini sebaiknya diakhiri dengan kegiatan saling memeluk dan mencium
kening. Orang tua kepada anak dan anak kepada orang tua. Tujuan kegiatan ini
agar tercipta kehangatan dalam keluarga. Saat anak merasa menemukan kehangatan
dalam keluarga, maka akan meminimalkan tingkah laku malasuai pada anak. Baik
saat di masyarakat, maupun di sekolah.
Beberapa
cara itu memang tidak menjamin pembunuhan guru seperti yang dilakukan HL tidak
akan terulang. Namun setidaknya dengan cara ini dapat tercipta iklim
kekeluargaan. Baik di sekolah maupun rumah. Harapannya dengan suasana positif,
maka individu yang berada di dalamnya akan terimbas melakukan hal positif.
Semoga.