Urgensi RUU PKS
Oleh : Masbahur Roziqi
Saya ingin menulis langsung pada intinya. RUU PKS (Penghapusan
Kekerasan Seksual) sangat urgen disahkan DPR. Kebijakan pencabutan RUU ini dari
prolegnas prioritas 2020 perlu peninjauan ulang. Jika gagal memperjuangkan ini,
akan banyak hati korban yang terluka. Dapat menjadi preseden buruk pula ketika
kelak muncul korban baru. Mereka tidak akan terlindungi instrumen RUU ini.
Miris.
Mengapa saya mendukung pengesahan RUU PKS ini? Karena poin-poin di
dalamnya mencerminkan perlindungan pada korban kekerasan seksual. Serta hukuman
maksimal bagi para pelaku kekerasan seksual. Tentu ini hal yang patut saya
dukung. Termasuk silakan para pembaca juga dukung. Tidak ada ruginya mendukung
sebuah gerakan yang bertujuan melindungi harkat martabat manusia. Melindungi
dari kekejaman kekerasan seksual.
Kasus nyata kekerasan seksual juga tampak pada pemerkosaan dan
pembunuhan yang dilakukan M. Thohir kepada bocah lima tahun, Ri, di desa Tanggulangin, Kecamatan Kejayan,
Kabupaten Pasuruan. Kekerasan seksual itu termasuk bagian dari kejahatan
terhadap kemanusiaan. (Jawa Pos Radar Bromo, 9/7/2020)
Banyaknya kasus kekejaman kekerasan seksual juga bisa pembaca lihat
pada data resmi yang dirilis Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan). Data resmi banyaknya korban kekerasan seksual bisa dilihat
pada data catatan tahunan (Catahu) komnas perempuan tahun 2020. Komnas
perempuan menyebutkan kekerasan seksual pada perempuan di ranah publik atau
komunitas tahun 2019 meliputi beberapa jenis. Kekerasan seksual tersebut antara
lain perkosaan sebanyak 715 kasus, pencabulan 551 kasus, dan pelecehan seksual
520 kasus.
Selain itu komnas perempuan juga merilis data kekerasan seksual
pada perempuan di ranah rumah tangga atau personal privat. Data kekerasan
seksual pada perempuan di ranah rumah tangga atau personal privat tahun 2019
tersebut antara lain inses sebanyak 822 kasus, perkosaan sebanyak 792 kasus,
persetubuhan 503 kasus, pencabulan 206 kasus, eksploitasi seksual 192 kasus,
dan pelecehan seksual sejumlah 137 kasus.
Ya, kekerasan seksual sangat kejam. Bahkan saya tidak ragu
menyebutkan kejahatan kekerasan seksual adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Para pelaku mengorbankan jiwa kemanusiaannya. Dan parahnya, mereka merenggut
harkat kemanusiaan korbannya. Menyisakan trauma mendalam yang tentu akan para
korban tanggung. Butuh pendampingan terus menerus dan konsisten untuk kembali
meneguhkan konsep diri korban melawan traumanya.
Pertimbangan RUU ini pun jelas menempatkan kekerasan seksual
sebagai musuh bagi kemanusiaan. Dalam poin b RUU ini menyebutkan bahwa setiap
bentuk kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, dan
pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihapus. Kalimat itu menjelaskan
besarnya bahaya tindak kejahatan kekerasan seksual. Tidak hanya menghancurkan
hidup korban melainkan nantinya membuat pelaku teguh dengan relasi kuasanya.
Korban memiliki kedudukan tidak setara dengan pelaku. Dengan RUU ini, kedudukan
itu bisa terusik. Perlindungan dan penindakan hukum kepada pelaku akan
mendobrak relasi kuasa dan memberikan keadilan bagi korban.
Selain itu dalam pertimbangan tersebut juga menjelaskan RUU ini
berspektif perlindungan korban, yakni pada poin c. Yaitu bahwa korban kekerasan
seksual harus mendapat perlindungan dari negara agar bebas dari setiap bentuk
kekerasan seksual. Secara tegas RUU menyampaikan bahwa negara memiliki peran
besar untuk melindungi korban. Itu berarti segala wewenang negara harus
dikerahkan untuk melawan langgengnya kekerasan seksual menjamah negeri ini.
Saya sendiri beberapa kali berempati pada cerita-cerita para korban
kekerasan seksual. Beberapa diantaranya murid saya. Mereka menyampaikan
kekerasan seksual yang dilakukan orang terdekatnya. Dengan berurai air mata.
Geram ketika teringat perbuatan pelaku. Namun tidak bisa berbuat apa-apa.
Kejadian sudah berlalu. Ketika mereka remaja SMP atau SD. Saat ingat rasanya
ingin menangis. Mau menceritakan pada keluarga, takut mendapat marah atau
hubungan keluarga retak. Apalagi pelaku orang terdekat keluarga.
Kegalauan para korban ini lah yang berupaya dihapus oleh RUU PKS.
Beberapa ancaman pidana terhadap pelaku sangat proporsional dan menyeluruh.
Termasuk jika pelaku kekerasan seksualnya adalah anak-anak. Tingkat sanksinya
sesuai tahap perkembangan masing-masing.
Contohnya pada pasal 112 ayat 2 yakni jika tindak pidana perkosaan
dilakukan oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat atau pejabat, maka
mendapat pidana penjara minimal 12 tahun dan maksimal 20 tahun. Itu pun juga
ditambah pidana tambahan berlapis. Yakni pidana tambahan ganti kerugian, kerja
sosial, dan pembinaan khusus. Artinya RUU PKS ini berupaya menghadirkan
keadilan dengan pemberatan hukuman pelaku sesuai perannya di masyarakat.
Berkaca pada pengalaman para korban kekerasan seksual tersebut, termasuk
murid saya, saya tidak sepakat jika RUU ini diturunkan dari prolegnas prioritas
tahun 2020-2024. Justru DPR sebagai wakil rakyat harus mampu membahas RUU ini
dengan lebih serius. Masak begitu saja menyerah. Tunjukkan bahwa wakil rakyat
serius memperjuangkan RUU PKS untuk melindungi para korban kekerasan seksual.
Termasuk menghadirkan keadilan bagi mereka.
Di saat saya menulis ini, saya sedang melihat akun instagram mantan
murid saya yang sempat menjadi korban kekerasan seksual tersebut. Relasi kuasa yang
timpang lah yang membuatnya terjerat tindak kejahatan kekerasan seksual
tersebut. Belum adanya RUU PKS turut menyumbang ketidakberdayaan murid saya
tersebut. Saat ini dia berupaya terus melangkah maju. Tidak lagi menoleh ke
belakang. Nomor ponsel si pelaku dia blokir. Sehingga dia tidak perlu sampai
membaca beberapa kali WA yang berisi nada teror dan melecehkannya.
Harus ada yang mengingatkan langkah pencabutan pembahasan RUU PKS
ini bukan hal baik. DPR perlu mengundang korban-korban kekerasan seksual secara
anonim atau lengkap identitasnya (sesuai permintaan korban) untuk mendengarkan
kesaksian mereka. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana narasi memilukan para
korban. Bahwa RUU ini sangat penting bagi korban untuk menegakkan keadilan bagi
mereka. Dan tidak ada lagi korban-korban yang mengalami kejadian sama seperti
mereka.
Gerakan mengkritisi usulan pencabutan RUU PKS dari prolegnas
prioritas harus terus menerus digulirkan publik. Konsolidasi dan koordinasi
untuk meminta DPR membatalkan rencana tersebut perlu menjadi agenda utama
gerakan ini. Adakan lagi dialog dan diskusi intens dengan beragam kalangan
untuk membahas RUU ini. Pembahasan harus komprehensif dan mendengarkan berbagai
masukan. Tidak tiba-tiba memutuskan untuk menurunkan RUU PKS dari prolegnas.
Tentu ini tidak elegan.
Saya sendiri berniat mengadakan diskusi daring bersama para peserta
didik saya menyikapi usulan pencabutan RUU PKS ini. Kita perlu mendengar dan
menyampaikan tentang isu dalam RUU PKS ini. Bahwa Indonesia memiliki produk
hukum yang akan melindungi para korban kekerasan seksual. Dan RUU ini harus
mendapat pengesahan baik dari DPR maupun pemerintah agar bisa berlaku di negeri
ini. Jadi jangan lah bosan meneriakkan dan menuliskan: #SahkanRUUPKS-SahkanRUUPenghapusaKekerasanSeksual!
Penulis adalah guru bimbingan dan konseling SMA Negeri 2 Kraksaan Kabupaten Probolinggo. Seorang guru yang terus berusaha menjadi profesional dan humanis. Mencintai berdiskusi bersama para murid di ruang kelas dan ruang maya.
No comments:
Post a Comment