Sunday, July 19, 2020

Urgensi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Urgensi RUU PKS

Oleh : Masbahur Roziqi

Saya ingin menulis langsung pada intinya. RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) sangat urgen disahkan DPR. Kebijakan pencabutan RUU ini dari prolegnas prioritas 2020 perlu peninjauan ulang. Jika gagal memperjuangkan ini, akan banyak hati korban yang terluka. Dapat menjadi preseden buruk pula ketika kelak muncul korban baru. Mereka tidak akan terlindungi instrumen RUU ini. Miris.

Mengapa saya mendukung pengesahan RUU PKS ini? Karena poin-poin di dalamnya mencerminkan perlindungan pada korban kekerasan seksual. Serta hukuman maksimal bagi para pelaku kekerasan seksual. Tentu ini hal yang patut saya dukung. Termasuk silakan para pembaca juga dukung. Tidak ada ruginya mendukung sebuah gerakan yang bertujuan melindungi harkat martabat manusia. Melindungi dari kekejaman kekerasan seksual.

Kasus nyata kekerasan seksual juga tampak pada pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan M. Thohir kepada bocah lima tahun, Ri,  di desa Tanggulangin, Kecamatan Kejayan, Kabupaten Pasuruan. Kekerasan seksual itu termasuk bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan. (Jawa Pos Radar Bromo, 9/7/2020)

Banyaknya kasus kekejaman kekerasan seksual juga bisa pembaca lihat pada data resmi yang dirilis Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Data resmi banyaknya korban kekerasan seksual bisa dilihat pada data catatan tahunan (Catahu) komnas perempuan tahun 2020. Komnas perempuan menyebutkan kekerasan seksual pada perempuan di ranah publik atau komunitas tahun 2019 meliputi beberapa jenis. Kekerasan seksual tersebut antara lain perkosaan sebanyak 715 kasus, pencabulan 551 kasus, dan pelecehan seksual 520 kasus.

Selain itu komnas perempuan juga merilis data kekerasan seksual pada perempuan di ranah rumah tangga atau personal privat. Data kekerasan seksual pada perempuan di ranah rumah tangga atau personal privat tahun 2019 tersebut antara lain inses sebanyak 822 kasus, perkosaan sebanyak 792 kasus, persetubuhan 503 kasus, pencabulan 206 kasus, eksploitasi seksual 192 kasus, dan pelecehan seksual sejumlah 137 kasus.

Ya, kekerasan seksual sangat kejam. Bahkan saya tidak ragu menyebutkan kejahatan kekerasan seksual adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Para pelaku mengorbankan jiwa kemanusiaannya. Dan parahnya, mereka merenggut harkat kemanusiaan korbannya. Menyisakan trauma mendalam yang tentu akan para korban tanggung. Butuh pendampingan terus menerus dan konsisten untuk kembali meneguhkan konsep diri korban melawan traumanya.  

Pertimbangan RUU ini pun jelas menempatkan kekerasan seksual sebagai musuh bagi kemanusiaan. Dalam poin b RUU ini menyebutkan bahwa setiap bentuk kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihapus. Kalimat itu menjelaskan besarnya bahaya tindak kejahatan kekerasan seksual. Tidak hanya menghancurkan hidup korban melainkan nantinya membuat pelaku teguh dengan relasi kuasanya. Korban memiliki kedudukan tidak setara dengan pelaku. Dengan RUU ini, kedudukan itu bisa terusik. Perlindungan dan penindakan hukum kepada pelaku akan mendobrak relasi kuasa dan memberikan keadilan bagi korban.

Selain itu dalam pertimbangan tersebut juga menjelaskan RUU ini berspektif perlindungan korban, yakni pada poin c. Yaitu bahwa korban kekerasan seksual harus mendapat perlindungan dari negara agar bebas dari setiap bentuk kekerasan seksual. Secara tegas RUU menyampaikan bahwa negara memiliki peran besar untuk melindungi korban. Itu berarti segala wewenang negara harus dikerahkan untuk melawan langgengnya kekerasan seksual menjamah negeri ini.

Saya sendiri beberapa kali berempati pada cerita-cerita para korban kekerasan seksual. Beberapa diantaranya murid saya. Mereka menyampaikan kekerasan seksual yang dilakukan orang terdekatnya. Dengan berurai air mata. Geram ketika teringat perbuatan pelaku. Namun tidak bisa berbuat apa-apa. Kejadian sudah berlalu. Ketika mereka remaja SMP atau SD. Saat ingat rasanya ingin menangis. Mau menceritakan pada keluarga, takut mendapat marah atau hubungan keluarga retak. Apalagi pelaku orang terdekat keluarga.

Kegalauan para korban ini lah yang berupaya dihapus oleh RUU PKS. Beberapa ancaman pidana terhadap pelaku sangat proporsional dan menyeluruh. Termasuk jika pelaku kekerasan seksualnya adalah anak-anak. Tingkat sanksinya sesuai tahap perkembangan masing-masing.

Contohnya pada pasal 112 ayat 2 yakni jika tindak pidana perkosaan dilakukan oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat atau pejabat, maka mendapat pidana penjara minimal 12 tahun dan maksimal 20 tahun. Itu pun juga ditambah pidana tambahan berlapis. Yakni pidana tambahan ganti kerugian, kerja sosial, dan pembinaan khusus. Artinya RUU PKS ini berupaya menghadirkan keadilan dengan pemberatan hukuman pelaku sesuai perannya di masyarakat.

Berkaca pada pengalaman para korban kekerasan seksual tersebut, termasuk murid saya, saya tidak sepakat jika RUU ini diturunkan dari prolegnas prioritas tahun 2020-2024. Justru DPR sebagai wakil rakyat harus mampu membahas RUU ini dengan lebih serius. Masak begitu saja menyerah. Tunjukkan bahwa wakil rakyat serius memperjuangkan RUU PKS untuk melindungi para korban kekerasan seksual. Termasuk menghadirkan keadilan bagi mereka.

Di saat saya menulis ini, saya sedang melihat akun instagram mantan murid saya yang sempat menjadi korban kekerasan seksual tersebut. Relasi kuasa yang timpang lah yang membuatnya terjerat tindak kejahatan kekerasan seksual tersebut. Belum adanya RUU PKS turut menyumbang ketidakberdayaan murid saya tersebut. Saat ini dia berupaya terus melangkah maju. Tidak lagi menoleh ke belakang. Nomor ponsel si pelaku dia blokir. Sehingga dia tidak perlu sampai membaca beberapa kali WA yang berisi nada teror dan melecehkannya.

Harus ada yang mengingatkan langkah pencabutan pembahasan RUU PKS ini bukan hal baik. DPR perlu mengundang korban-korban kekerasan seksual secara anonim atau lengkap identitasnya (sesuai permintaan korban) untuk mendengarkan kesaksian mereka. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana narasi memilukan para korban. Bahwa RUU ini sangat penting bagi korban untuk menegakkan keadilan bagi mereka. Dan tidak ada lagi korban-korban yang mengalami kejadian sama seperti mereka.

Gerakan mengkritisi usulan pencabutan RUU PKS dari prolegnas prioritas harus terus menerus digulirkan publik. Konsolidasi dan koordinasi untuk meminta DPR membatalkan rencana tersebut perlu menjadi agenda utama gerakan ini. Adakan lagi dialog dan diskusi intens dengan beragam kalangan untuk membahas RUU ini. Pembahasan harus komprehensif dan mendengarkan berbagai masukan. Tidak tiba-tiba memutuskan untuk menurunkan RUU PKS dari prolegnas. Tentu ini tidak elegan.

Saya sendiri berniat mengadakan diskusi daring bersama para peserta didik saya menyikapi usulan pencabutan RUU PKS ini. Kita perlu mendengar dan menyampaikan tentang isu dalam RUU PKS ini. Bahwa Indonesia memiliki produk hukum yang akan melindungi para korban kekerasan seksual. Dan RUU ini harus mendapat pengesahan baik dari DPR maupun pemerintah agar bisa berlaku di negeri ini. Jadi jangan lah bosan meneriakkan dan menuliskan: #SahkanRUUPKS-SahkanRUUPenghapusaKekerasanSeksual!

Penulis adalah guru bimbingan dan konseling SMA Negeri 2 Kraksaan Kabupaten Probolinggo. Seorang guru yang terus berusaha menjadi profesional dan humanis. Mencintai berdiskusi bersama para murid di ruang kelas dan ruang maya.


No comments:

Post a Comment

Come on Guys, Stop Invasion!

  Affirm Position, Condemn Invasion! Masbahur Roziqi The author is an Indonesia citizen who oppose Russian aggresion to Ukraine      The mom...