Urgensi BDR
Demi Kesehatan
Oleh :
Masbahur Roziqi
Penulis adalah
guru bimbingan dan konseling SMA Negeri 2 Kraksaan Kabupaten Probolinggo
Jelang akhir
tahun 2020 ada kabar tak sedap tentang perkembangan penyebaran virus covid 19.
Yakni munculnya varian baru virus covid 19. Namanya SARS-CoV-2-VUI202012/01.
Inggris menjadi lokasi penemuannya. Sangat mengkhawatirkan. Menurut menristek,
Bambang Brodjonegoro virus varian baru ini cepat sekali menular. Penularannya
20 kali lebih cepat daripada varian lain dalam keluarga virus corona
(Jawapos.com, 25/12/2020).
Berkaca dari
keadaan tersebut, kondisi penularan virus covid pada negara kita tercinta bisa
dibilang masih sangat rentan. Apalagi saya juga merasa masih banyak yang abai
dengan protokol kesehatan. Jika dihubungkan dengan rencana pembelajaran tatap
muka, jujur kekhawatiran atas kesehatan bapak ibu guru dan para murid mulai
bermunculan. Apakah rencana PTM (Pembelajaran Tatap Muka) ini positif jadi?
Apalagi pemerintah pusat melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri telah
menyerahkan sepenuhnya wewenang kepada pemerintah daerah perihal pembukaan
sekolah tatap muka. Artinya pemda diberi kewenangan membolehkan pembelajaran
tatap muka kembali dilaksanakan tanpa harus melihat status zona penyebaran
virus covid berdasarkan data Gugus Tugas Pencegahan dan Penanggulangan covid
19.
Sekilas ada
yang lega. Anak-anak akan terselamatkan dari kehilangan pembelajaran (learning
loss). Sudah banyak yang mengeluh. Baik kepada guru, kepala sekolah, pengawas,
maupun kepada cabang dinas pendidikan dan dinas pendidikan. Anak-anak dominan
berkegiatan di luar pembelajaran. Lebih banyak main, dan hampir jarang
menyentuh pembelajaran. Bahkan ada yang memutuskan untuk bekerja membantu orang
tua. Kondisi ini yang menjadi keprihatinan jika sekolah tetap melaksanakan BDR
(Belajar Dari Rumah). Ada potensi anak menarik diri dari sekolah. Kehilangan
daya antusias bersekolah. Bisa karena bekerja, lebih asyik bermain, dan
menemukan dunia barunya tanpa sekolah. Kenyamanan permanen atas kondisi ini
menjadi kekhawatiran utama para orang tua dan pihak-pihak yang mendukung
pelaksanakan PTM kembali.
Tentu saya
amat memahami kondisi tersebut. Hilangnya minat dan potensi menarik diri
peserta didik dari sekolah menjadi konsen utama yang harus diatasi bersama
berbagai pihak. Tidak bisa hanya orang tua sendiri, atau sekolah sendiri. Namun
semua elemen. Mulai dari sekolah, lingkungan masyarakat, dan keluarga, wajib
bersatu padu mengatasi hal ini.
Namun ada
catatan penting berdasarkan penelitian bahwa tidak sepenuhnya BDR menjadi
penyebab munculnya problematika pada anak. Dalam hal in problema berkaitan
dengan kesehatan mental dan kesehatan fisik. Meskipun mungkin tentu ada yang
mengalaminya karena BDR ini. Tapi berdasarkan penelitian tersebut, BDR tidak
menjadi faktor dominan penyebabnya.
Kita bisa
tengok hasil penelitian terbaru Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPKI) tentang
Dampak Belajar Dari Rumah terhadap kondisi psikologis siswa. Penelitian ini
melibatkan 15.304 siswa pada jenjang pendidikan SD (kelas 4-6), SMP, SMA, dan
SMK sebagai partisipan. Para siswa tersebut berasal dari sekolah di 6 wilayah
Indonesia. Yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara,
serta Maluku dan Papua. Hasil penelitian tersebut ada tiga hal. Pertama,
kondisi psikologis siswa yang mengikuti BDR relatif lebih baik dibandingkan
mereka yang mengikuti PTM maupun campuran BDR dan PTM. Kedua, BDR juga tidak
menimbulkan stres yang lebih tinggi dibandingkan metode pembelajaran lainnya.
Ketiga, berdasarkan hasil temuan penelitian-penelitian sebelumnya, kondisi psikologis
siswa saat ini tidak berbeda dari kondisi sebelum pandemi. Oleh karena itu
kondisi psikologis siswa saat ini dapat disimpulkan tidak secara langsung
disebabkan oleh BDR.
Dalam
rekomendasinya, IPKI bahkan secara tegas meminta pada pemda untuk menunda
melaksanakan PTM dan melanjutkan BDR sampai tingkat infeksi covid 19 kurang
dari 5 persen sesuai rekomendasi WHO (Badan Kesehatan Dunia PBB). Ini demi
menghindari adanya life loss dan health loss. Karena jika sudah mengalami life
loss dan health loss, maka sulit untuk merevitalisasinya sebab yang hilang
adalah nyawa. Bukan lagi sebuah materi pembelajaran.
Ada pun
terkait kesehatan fisik, menurut satgas penanganan covid 19 (7/1/2021),
penularan juga terjadi pada anak usia sekolah. Yakni berjumlah 59.776 kasus
dari total kasus kumulatif. Dan pada rentang usia TK, SD, SMP, dan SMA, Jawa
Timur menempati urutan pertama penyumbang kematian tertinggi rentang usia
sekolah. Rinciannya, rentang usia TK (4,6%), SD (4,96%), SMP (4,96%), dan SMA
(4,62%). Sebuah hal yang tentunya perlu
menjadi pertimbangan utama terkait realisasi pelaksanaan PTM. Dan urgensinya
untuk menguatkan BDR.
Lantas
bagaimana untuk mengoptimalisasi agar BDR ini bisa maksimal? Bukannya selama
ini keluhan utama adalah BDR yang tidak memberikan anak pengalaman belajar? Ada
beberapa hal yang juga bisa menjadi rekomendasi bagi pemangku kepentingan,
terutama cabang dinas pendidikan Provinsi dan dinas pendidikan kabupaten/kota.
Pertama,
meningkatkan kapasitas dan keterampilan para guru dalam pengelolaan kelas
virtual selama pelaksanaan BDR. Entah itu menggunakan WA, aplikasi konferensi
video, maupun media internet lainnya. Selama ini sebagian besar guru masih
kebingungan menentukan metode pembelajarannya. Karena ini kondisi khusus. Tidak
pernah terjadi sebelumnya. Dari pengelolaan klasikal tatap muka menjadi BDR
tentu merupakan tantangan tersendiri. Pihak regulator di daerah musti
memaksimalkan berbagai sumberdaya untuk membantu guru terampil mengelola kelas
virtual ini.
Kedua,
pastikan pengalokasian anggaran kuota internet bagi guru dan murid terus ada
selama pandemi covid 19 ini. Pemda bisa menyokong pemerintah pusat dengan turut
pula mengalokasikan anggaran 20 persen pendidikannya untuk memberikan subsidi
pulsa internet bagi guru dan murid. Jadi pulsa tidak lagi jadi kendala berarti
yang menghalangi BDR.
Ketiga, perlu
peningkatan kapasitas guru untuk dapat memberikan Dukungan Psikologis Awal
(DPA) bagi murid. DPA ini berfungsi untuk menguatkan sisi psikologis siswa
sehingga dia bisa tahu bahwa dirinya tak sendiri. Ada orang-orang di
sekelilingnya yang bersedia untuk mendengar dan bersamanya.
Keempat,
mempertimbangkan kebijakan yang mengharuskan guru tetap masuk sekolah saat pandemi
masih merebak. Ini perlu juga menjadi kebijakan bagi pemda. Terutama bagi bapak
ibu guru yang domisilinya jauh dari sekolah. Potensi penularan virus covid 19
saat dalam perjalanan menuju sekolah kepada bapak ibu guru lainnya tentu
berpotensi tinggi. Apalagi jika tanpa protokol kesehatan pada sekolah. Selama
ini juga bapak ibu guru jarang memakai APD dalam berinteraksi. Ini berpotensi
pula menjadi bagian dari penularan dari kalangan bapak dan ibu guru. Jika pun
masuk, usulannya mungkin dibuat bergiliran saja. Sehingga tidak membuat bapak
ibu guru banyak bergerombol di sekolah. Mengurangi kerumunan juga bagian dari
pencegahan covid 19.
Kelima,
memperkuat kerjasama dengan orang tua. Ini yang mungkin harus saya akui sangat
kurang. Sebab selama ini memang para orang tua telah mengamanahkan sepenuhnya
anak-anaknya kepada sekolah. Dengan adanya pandemi ini, peran orang tua
ternyata dituntut untuk juga bisa sentral bagi anak terkait BDR. Sehingga perlu
adanya pembekalan dan kolaborasi antara sekolah dan orang tua untuk sama-sama
meningkatkan keterampilan dalam menfasilitasi BDR murid. Ini juga dapat mendekatkan kedekatan emosional
orang tua dan sekolah untuk kepentingan anak. Semoga.
No comments:
Post a Comment