Friday, January 15, 2021

Demi Kesehatan, BDR Jadi Pilihan

 

Urgensi BDR Demi Kesehatan

Oleh : Masbahur Roziqi

Penulis adalah guru bimbingan dan konseling SMA Negeri 2 Kraksaan Kabupaten Probolinggo

Jelang akhir tahun 2020 ada kabar tak sedap tentang perkembangan penyebaran virus covid 19. Yakni munculnya varian baru virus covid 19. Namanya SARS-CoV-2-VUI202012/01. Inggris menjadi lokasi penemuannya. Sangat mengkhawatirkan. Menurut menristek, Bambang Brodjonegoro virus varian baru ini cepat sekali menular. Penularannya 20 kali lebih cepat daripada varian lain dalam keluarga virus corona (Jawapos.com, 25/12/2020).

Berkaca dari keadaan tersebut, kondisi penularan virus covid pada negara kita tercinta bisa dibilang masih sangat rentan. Apalagi saya juga merasa masih banyak yang abai dengan protokol kesehatan. Jika dihubungkan dengan rencana pembelajaran tatap muka, jujur kekhawatiran atas kesehatan bapak ibu guru dan para murid mulai bermunculan. Apakah rencana PTM (Pembelajaran Tatap Muka) ini positif jadi? Apalagi pemerintah pusat melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri telah menyerahkan sepenuhnya wewenang kepada pemerintah daerah perihal pembukaan sekolah tatap muka. Artinya pemda diberi kewenangan membolehkan pembelajaran tatap muka kembali dilaksanakan tanpa harus melihat status zona penyebaran virus covid berdasarkan data Gugus Tugas Pencegahan dan Penanggulangan covid 19.

Sekilas ada yang lega. Anak-anak akan terselamatkan dari kehilangan pembelajaran (learning loss). Sudah banyak yang mengeluh. Baik kepada guru, kepala sekolah, pengawas, maupun kepada cabang dinas pendidikan dan dinas pendidikan. Anak-anak dominan berkegiatan di luar pembelajaran. Lebih banyak main, dan hampir jarang menyentuh pembelajaran. Bahkan ada yang memutuskan untuk bekerja membantu orang tua. Kondisi ini yang menjadi keprihatinan jika sekolah tetap melaksanakan BDR (Belajar Dari Rumah). Ada potensi anak menarik diri dari sekolah. Kehilangan daya antusias bersekolah. Bisa karena bekerja, lebih asyik bermain, dan menemukan dunia barunya tanpa sekolah. Kenyamanan permanen atas kondisi ini menjadi kekhawatiran utama para orang tua dan pihak-pihak yang mendukung pelaksanakan PTM kembali.

Tentu saya amat memahami kondisi tersebut. Hilangnya minat dan potensi menarik diri peserta didik dari sekolah menjadi konsen utama yang harus diatasi bersama berbagai pihak. Tidak bisa hanya orang tua sendiri, atau sekolah sendiri. Namun semua elemen. Mulai dari sekolah, lingkungan masyarakat, dan keluarga, wajib bersatu padu mengatasi hal ini.

Namun ada catatan penting berdasarkan penelitian bahwa tidak sepenuhnya BDR menjadi penyebab munculnya problematika pada anak. Dalam hal in problema berkaitan dengan kesehatan mental dan kesehatan fisik. Meskipun mungkin tentu ada yang mengalaminya karena BDR ini. Tapi berdasarkan penelitian tersebut, BDR tidak menjadi faktor dominan penyebabnya.

Kita bisa tengok hasil penelitian terbaru Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPKI) tentang Dampak Belajar Dari Rumah terhadap kondisi psikologis siswa. Penelitian ini melibatkan 15.304 siswa pada jenjang pendidikan SD (kelas 4-6), SMP, SMA, dan SMK sebagai partisipan. Para siswa tersebut berasal dari sekolah di 6 wilayah Indonesia. Yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua. Hasil penelitian tersebut ada tiga hal. Pertama, kondisi psikologis siswa yang mengikuti BDR relatif lebih baik dibandingkan mereka yang mengikuti PTM maupun campuran BDR dan PTM. Kedua, BDR juga tidak menimbulkan stres yang lebih tinggi dibandingkan metode pembelajaran lainnya. Ketiga, berdasarkan hasil temuan penelitian-penelitian sebelumnya, kondisi psikologis siswa saat ini tidak berbeda dari kondisi sebelum pandemi. Oleh karena itu kondisi psikologis siswa saat ini dapat disimpulkan tidak secara langsung disebabkan oleh BDR.

Dalam rekomendasinya, IPKI bahkan secara tegas meminta pada pemda untuk menunda melaksanakan PTM dan melanjutkan BDR sampai tingkat infeksi covid 19 kurang dari 5 persen sesuai rekomendasi WHO (Badan Kesehatan Dunia PBB). Ini demi menghindari adanya life loss dan health loss. Karena jika sudah mengalami life loss dan health loss, maka sulit untuk merevitalisasinya sebab yang hilang adalah nyawa. Bukan lagi sebuah materi pembelajaran.

Ada pun terkait kesehatan fisik, menurut satgas penanganan covid 19 (7/1/2021), penularan juga terjadi pada anak usia sekolah. Yakni berjumlah 59.776 kasus dari total kasus kumulatif. Dan pada rentang usia TK, SD, SMP, dan SMA, Jawa Timur menempati urutan pertama penyumbang kematian tertinggi rentang usia sekolah. Rinciannya, rentang usia TK (4,6%), SD (4,96%), SMP (4,96%), dan SMA (4,62%).  Sebuah hal yang tentunya perlu menjadi pertimbangan utama terkait realisasi pelaksanaan PTM. Dan urgensinya untuk menguatkan BDR.

Lantas bagaimana untuk mengoptimalisasi agar BDR ini bisa maksimal? Bukannya selama ini keluhan utama adalah BDR yang tidak memberikan anak pengalaman belajar? Ada beberapa hal yang juga bisa menjadi rekomendasi bagi pemangku kepentingan, terutama cabang dinas pendidikan Provinsi dan dinas pendidikan kabupaten/kota.

Pertama, meningkatkan kapasitas dan keterampilan para guru dalam pengelolaan kelas virtual selama pelaksanaan BDR. Entah itu menggunakan WA, aplikasi konferensi video, maupun media internet lainnya. Selama ini sebagian besar guru masih kebingungan menentukan metode pembelajarannya. Karena ini kondisi khusus. Tidak pernah terjadi sebelumnya. Dari pengelolaan klasikal tatap muka menjadi BDR tentu merupakan tantangan tersendiri. Pihak regulator di daerah musti memaksimalkan berbagai sumberdaya untuk membantu guru terampil mengelola kelas virtual ini.

Kedua, pastikan pengalokasian anggaran kuota internet bagi guru dan murid terus ada selama pandemi covid 19 ini. Pemda bisa menyokong pemerintah pusat dengan turut pula mengalokasikan anggaran 20 persen pendidikannya untuk memberikan subsidi pulsa internet bagi guru dan murid. Jadi pulsa tidak lagi jadi kendala berarti yang menghalangi BDR.

Ketiga, perlu peningkatan kapasitas guru untuk dapat memberikan Dukungan Psikologis Awal (DPA) bagi murid. DPA ini berfungsi untuk menguatkan sisi psikologis siswa sehingga dia bisa tahu bahwa dirinya tak sendiri. Ada orang-orang di sekelilingnya yang bersedia untuk mendengar dan bersamanya.

Keempat, mempertimbangkan kebijakan yang mengharuskan guru tetap masuk sekolah saat pandemi masih merebak. Ini perlu juga menjadi kebijakan bagi pemda. Terutama bagi bapak ibu guru yang domisilinya jauh dari sekolah. Potensi penularan virus covid 19 saat dalam perjalanan menuju sekolah kepada bapak ibu guru lainnya tentu berpotensi tinggi. Apalagi jika tanpa protokol kesehatan pada sekolah. Selama ini juga bapak ibu guru jarang memakai APD dalam berinteraksi. Ini berpotensi pula menjadi bagian dari penularan dari kalangan bapak dan ibu guru. Jika pun masuk, usulannya mungkin dibuat bergiliran saja. Sehingga tidak membuat bapak ibu guru banyak bergerombol di sekolah. Mengurangi kerumunan juga bagian dari pencegahan covid 19.

Kelima, memperkuat kerjasama dengan orang tua. Ini yang mungkin harus saya akui sangat kurang. Sebab selama ini memang para orang tua telah mengamanahkan sepenuhnya anak-anaknya kepada sekolah. Dengan adanya pandemi ini, peran orang tua ternyata dituntut untuk juga bisa sentral bagi anak terkait BDR. Sehingga perlu adanya pembekalan dan kolaborasi antara sekolah dan orang tua untuk sama-sama meningkatkan keterampilan dalam menfasilitasi BDR murid.  Ini juga dapat mendekatkan kedekatan emosional orang tua dan sekolah untuk kepentingan anak. Semoga.

No comments:

Post a Comment

Come on Guys, Stop Invasion!

  Affirm Position, Condemn Invasion! Masbahur Roziqi The author is an Indonesia citizen who oppose Russian aggresion to Ukraine      The mom...