Lepas
Oleh : Masbahur Roziqi
Penulis adalah guru BK SMA Negeri 2 Kraksaan Kab. Probolinggo, Jawa Timur
“Pak
saya mau berhenti saja.”
Ucapan
itu bagai petir menggelegar di siang bolong. Sebelum mendengar itu, aku masih
terpaku dengan tumpukan berkas hasil tes EQ para muridku. Kini perhatianku
dipaksa beralih. Aku lihat sumber suara itu. Sambil memicingkan mata, berusaha
kukenali sosok siswi yang tepat duduk di depan mejaku ini.
“Sek, sek, enteni, ada apa tho nduk, ayo
lungguh dhisik.”
Kulihat
dia menghela napas panjang. Bahkan hembusannya sampai terasa di wajahku. Dia
memonyongkan mulutnya. Perlahan ditariknya kursi plastik berwarna hijau yang
ada di sebelah kanannya. Tangannya bersedekap di perut. Dia melihat ke bawah.
“
Hmmmmm.......”
“Ayo
ada apa sih nduk?”
“Gimana
ya pak...”
“Tadi
kamu bilang mau berhenti, berhenti apa maksudnya. Silahkan cerita, mungkin
bapak bisa membantu. Pelan-pelan saja dan terbuka ya”
“Nggak
jadi deh pak.”
Siswi
ini langsung bangkit dan berjalan cepat ke arah pintu keluar. Asyem. Umpatku. Tanpa sadar kata itu
terbersit dalam pikiran. Aku hanya bisa tercenung. Belum juga tahu nama dan
kelasnya, eh siswi itu sudah pergi. Pekerjaan Rumah (PR) nih, gumamku.
Lemari
data siswa jadi tempatku menyibukkan diri. Sebagai guru, aku memang memiliki
data siswa. Mengenai siswi “misterius” tadi, aku sungguh penasaran. Aku ingat
wajahnya. Kutelusuri satu persatu data mulai kelas X hingga kelas XII. Dan, nah
ketemu!! N-i-n-d-i...
**
Siang
ini aku sungguh tidak semangat. Padahal sudah pulang sekolah. Kalau melihat
teman-teman, rasanya iri. Aku masih kelas X. Umurku masih 16 tahun. Masih
waktunya bermain dan belajar. Ini masih SMA, aku seharusnya tidak galau seperti
ini. Tapi kondisi ini..... Ah entahlah. Mungkin sudah takdir. Rasanya ingin aku
hempaskan saja tubuh ini. Beberapa alternatif tempat sudah aku pikirkan.
Pinggir jurang, tebing laut, atau tepi jalan tol. Banyak sekali. Masih bingung
memilih. Mungkin nanti, kalau aku sudah benar-benar capek.
Kulihat
lelaki berkumis itu sudah berdiri di depan mobilnya pas dekat pintu gerbang
sekolah. Mobil sedan putih. Kacanya gelap. Segelap orangnya aku pikir. Muak aku
melihat orang yang lebih pantas kupanggil om ini. Seperti biasa dia selalu
tersenyum menyeringai. Padahal giginya jelek. Ah orang ini tidak ada
bagus-bagusnya.
“Halo
sayang, mau kemana hari ini rencananya?”
“
Terserah” ujarku sambil membuka pintu mobil bagian depan.
“
Waw jangan cemberut begitu donk sayang,” kata lelaki itu sambil memegang
daguku.
“
Ayoo mau pergi atau nggak nih. Aku pulang sendiri deh kalau kelamaan di sini.”
“
Iya iya sayang, ayo kita pergi ke tempat biasanya yaa, hehehe.”
Mobil
putih itu pun meluncur pergi. Tapi tidak dengan kegalauanku. Selalu seperti
ini. Lelaki berkumis ini pasti selalu menjemputku sepulang sekolah. Tidak
sekedar menjemput. Dia selalu minta dilayani nafsunya. Ya, nafsu birahinya.
Minimal sebulan tiga kali. Aku terpaksa melayaninya. Dia selalu mengancamku,
mengancam ibuku, mengancam kami berdua. Siapa lelaki berkumis itu? Dia lah
selingkuhan ibuku. Dia datang saat ayah ku tidak lagi peduli pada ku dan ibu.
Saat ayah hanya datang pada ibu untuk memukul dan bertengkar.
“
Buuu, aku tidak mau lagi digituin om itu buuu. Aku muak, aku males lihat orang
itu.”
“
Sudah lah Nak bertahan saja. Dapat dari mana uang kalau tidak dari Mas Rokib,
nak. SPP dan tanggungan sekolahmu masih belum lunas.”
“
Biar aku cari kerja saja, Bu.”
“
Jangan Nak, kamu harus sekolah.”
“
Aku malu bu sama teman-teman. Daripada bergantung sama om itu terus.”
“
Biar sudah Nak, yang penting kamu dapat uang buat sekolah.”
“
Kalau gini aku ingin keluar sekolah saja bu.”
Ibuku
terlihat naik pitam. Dia mulai mengumpat.
“Arep dadi opo gak sekolah kon!! Wes uripe
ibukmu ancur ngene, kon arep melu-melu ha!! Sudah turuti ae om Rokib iku!!”
Percakapan
itu terlintas kembali dalam ingatanku. Wajah ibuku, ayah, dan diriku sendiri.
Ingin aku robek ingatan itu. Bebanku semakin berat. Kulihat bangunan hotel itu
sudah tampak tidak jauh dari sedan yang kutumpangi. Rutinitas bulanan ku dengan
om jahanam itu kembali dimulai.
**
Informasi
yang kudapatkan sukses membuatku pusing. Nindi, siswi kelas X A1 termasuk yang
sering menjadi keluhan para guru. Mulai tertidur saat jam pelajaran, sering
terlambat masuk sekolah dan masuk kelas, hingga sering tidak masuk sekolah
tanpa keterangan. Aku telusuri data keluarganya. Ayahnya sopir truk, dan ibunya
pekerja rumah tangga. Saat SMP termasuk siswi yang aktif di OSIS.
“
Nindi hari ini masuk?” tanyaku pada ketua kelas X A1, Joseph Bintoro.
“
Tadi masuk Pak, tapi sekarang sudah tidak di kelas lagi Pak. Tadi izin,”
“Kemana?”
“
Tidak tahu Pak. Oh itu Pak, Nin sini dipanggil Pak Aryo”
Nindi
terlihat terkejut saat Joseph memanggilnya. Dia berjalan perlahan ke arah ku.
Wajahnya sesekali menunduk. Aku mempersilahkannya masuk ke ruanganku. Kupilih
sofa tamu untuk kami berkomunikasi.
“
Nin, masih ingat bapak kan? Coba Nindi ceritakan yang kemarin Nindi ke sini.”
“
Tidak ada apa-apa Pak. Hanya iseng”
“
Hanya iseng? Tapi bagi bapak itu bukan iseng. Apakah yang Nindi pikirkan?”
“
Saya permisi Pak” sambil dia bangkit dan beranjak pergi.
Dengan
refleks, aku memegang tangannya. Ekspresinya tidak kuduga. Dia melotot. Matanya
berkaca-kaca. Wajahnya memerah.
“
Lepaskan tangankuuuu!!!!” teriaknya sambil menghempaskan tangannya dari
peganganku. Dia langsung berlari keluar ruangan.
Sekali
lagi, Nindi membuatku melongo....
**
Aku
terus berlari di lorong sekolah. Jantungku berdegup kencang. Pegangan tangan
pak Aryo, entah mengapa membuatku merasa jijik. Aku muak melihat tangan lelaki
dewasa menyentuh anggota tubuhku. Bahkan mungkin aku bisa dibilang trauma.
Kuhempaskan saja tangannya. Emosiku memuncak. Bayangan pria menjijikkan yang
sekarang menjadi kekasih gelap ibuku kembali muncul. Aku mau muntah tiap
mengingatnya.
Sudah
sejak SMP aku menjadi budak nafsunya. Genggaman tangan pak Aryo tadi refleks
mengingatkanku pada perlakuan yang selama ini aku terima dari pria jahanam
bernama Rokib itu. Sudah tidak terhitung berapa kali dia menggerayangi tubuhku.
Dan aku hanya bisa pasrah. Pria ini yang membiayai seluruh biaya sekolahku sejak
SMP. Dia pula yang memberi ibu uang belanja untuk makan kami sehari-hari. Ibu
ku pun menyerah padanya.
Tapi
kali ini aku sudah tidak kuat. Perutku mual. Rasanya ingin muntah. Kepalaku
pusing. Sejenak aku bersandar ke dinding. Beberapa siswi kelas lain menghampiriku.
Tak kudengar jelas suara mereka. Hanya seperti bergumam. Samar-samar. Kurasakan
mereka memapahku. Ruang UKS menjadi tempat tujuan mereka.
**
Aku
hanya ingin lepas. Lepas dari pria jahanam itu. Lepas dari ruwetnya hubungan
ayah dan ibuku. Lepas dan bebas menggapai impianku. Pak Aryo menjadi tempat
teduhku. Berdialog dengannya di UKS membuatku tenang. Agak menyesal tidak
berbicara dengannya lebih awal. Kata-katanya meneduhkan hatiku.
Pulang
sekolah, aku tidak lagi dijemput pria jahanam itu. Pak Aryo mengantarkan aku.
Dia bersimpati kepadaku. Beberapa kali dia menggenggam tanganku saat terbaring
lemah di UKS. Senyum selalu menghiasi wajahnya tiap berbicara denganku. Pak
Aryo memboncengku dengan motornya.
Motor
itu pun melaju di jalanan kota kelahiranku. Semilir angin menerpa badanku.
Namun itu tidak lama. Aku memandangi jalan yang kami lalui. Arah jalan yang
membuatku selalu bergidik jijik tiap melewatinya. Namun aku tidak berani
bersuara. Di depanku adalah guruku. Orang yang kuhormati setelah ayah ibuku.
Laju motor berhenti. Tepat di depan bangunan brengsek yang sangat aku benci.
Hotel laknat tempat si Rokib menggarapku.
“
Ayo Nin.” ujar pak Aryo sambil tersenyum.
“
Tapi pak ini....”
“
Ayo lah ini untuk menghadapi traumamu”
Ucapan
pak Aryo membiusku. Dia merangkul pundakku. Sampai resepsionis, dia memesan
kamar. Digandengnya tanganku.
“
Kali ini kamu tidak akan kecewa. Ayo sayang.” Sorot matanya seperti sorot mata
Rokib si pria jahanam itu.
Tubuhku
mendadak lemas. Rasanya aku belum lepas.
No comments:
Post a Comment